Sunday, June 22, 2025
HomeInternasionalAmerika-KanadaRencana Trump Ambil Alih Gaza, Picu Reaksi Penolakan

Rencana Trump Ambil Alih Gaza, Picu Reaksi Penolakan

Washington, D.C. – Presiden Amerika Serikat Donald Trump membuat pernyataan mengejutkan pada Rabu (5/2/2025), mengumumkan rencana AS untuk mengambil alih kendali atas Jalur Gaza. Dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Trump menyatakan bahwa Gaza akan diubah menjadi “Riviera Timur Tengah” di bawah kepemimpinan AS. Namun, proposal ini langsung memicu reaksi keras dari berbagai negara dan organisasi internasional.

Rencana Trump: Dari Pembangunan hingga Relokasi

Trump mengklaim bahwa rencana tersebut bertujuan untuk membangun kembali Gaza yang hancur akibat konflik berkepanjangan. “Kami akan meluncurkan program pembangunan ekonomi besar-besaran untuk menyediakan lapangan kerja dan perumahan bagi penduduk Gaza,” ujarnya. Dia juga menyebut bahwa Gaza, yang saat ini dipenuhi reruntuhan, dapat direlokasi penduduknya ke tempat lain untuk hidup lebih tenang.

Namun, Trump tidak memberikan detail jelas tentang bagaimana relokasi ini akan dilakukan atau di mana warga Gaza akan dipindahkan. Ketika ditanya siapa yang akan tinggal di Gaza setelah pembangunan, Trump menjawab bahwa wilayah itu bisa menjadi rumah bagi “orang-orang dari seluruh dunia.”

Reaksi Internasional: Penolakan dan Kekhawatiran

Dikutip dari Aljazeera, Rabu (5/2/2025), beberapa negara menyatakan penolakan mereka terhadap pemindahan warga Palestina dari tanah mereka dan menyerukan realisasi solusi dua negara dan kesempatan bagi warga Palestina untuk hidup di negara mereka sendiri.

Proposal Trump langsung menuai kritik dari berbagai negara:

Inggris juga menegaskan komitmennya pada solusi dua negara. Perdana Menteri Keir Starmer menyerukan agar warga Palestina diizinkan kembali ke rumah mereka dan Gaza dibangun kembali sebagai bagian dari negara Palestina yang merdeka.

Prancis, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Christophe Le Moyne, menyatakan bahwa masa depan Gaza harus berada di bawah kendali negara Palestina, bukan negara ketiga. “Pemindahan paksa warga Gaza adalah pelanggaran serius terhadap hukum internasional,” katanya.

Jerman, Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Berbock mengatakan bahwa Gaza, seperti Tepi Barat dan Yerusalem Timur, adalah milik Palestina, dan mengusir mereka tidak dapat diterima dan bertentangan dengan hukum internasional.

Dia menambahkan dalam sebuah pernyataan: “Hal ini juga akan menimbulkan penderitaan dan kebencian baru. “Seharusnya tidak ada solusi yang mengabaikan Palestina.

Brasil, Presiden Brasil Lula da Silva mengatakan bahwa janji Trump untuk menguasai Jalur Gaza “tidak logis”.

“Di mana warga Palestina akan tinggal, ini adalah sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh manusia,” kata da Silva dalam sebuah wawancara radio. Orang-orang Palestina adalah orang-orang yang harus mengurus Gaza,” kata da Silva dalam sebuah wawancara radio.

Turki, salah satu negara paling vokal dalam mendukung Palestina, mengecam proposal Trump sebagai “tidak masuk akal dan sia-sia.” Menteri Luar Negeri Hakan Fidan menegaskan bahwa rencana semacam itu hanya akan memicu konflik lebih lanjut.

Dukungan Terbatas dan Kritik dari Negara-Negara Lain

Sementara beberapa negara menolak keras rencana Trump, tidak ada dukungan signifikan yang muncul dari negara-negara besar lainnya. China dan Rusia, misalnya, menegaskan kembali komitmen mereka pada solusi dua negara. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menyerukan gencatan senjata dan penyelesaian politik berdasarkan prinsip dua negara.

Spanyol, Menteri Luar Negeri Spanyol, José Manuel Alvarez, menolak usulan presiden AS tersebut, dan mengatakan kepada para wartawan: “Saya ingin memperjelas masalah ini, Gaza adalah tanah rakyat Palestina di Gaza dan mereka harus tetap tinggal di sana.”

“Gaza adalah bagian dari negara Palestina di masa depan yang didukung oleh Spanyol dan harus hidup berdampingan untuk memastikan kemakmuran dan keamanan Negara Israel,” tambahnya.

Skotlandia, Menteri Pertama Skotlandia John Swinney mengkritik rencana Trump. “Setelah berbulan-bulan hukuman kolektif di Gaza dan lebih dari 40.000 orang meninggal, setiap proposal untuk memindahkan warga Palestina dari rumah mereka tidak dapat diterima dan berbahaya,” ujarnya dalam sebuah posting di platform X.

Sweeney menekankan bahwa ia menentang pembersihan etnis dan hanya solusi dua negara yang akan membawa perdamaian abadi.

Arab Saudi, melalui pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri, menegaskan bahwa mereka tidak akan mengakui Israel tanpa adanya negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Putra Mahkota Mohammed bin Salman sebelumnya telah menekankan hal ini dalam pidatonya pada KTT Riyadh November 2024.

Reaksi dari Organisasi Internasional

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menyuarakan keprihatinan. Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, Filippo Grandi, menyebut rencana Trump “sangat mengejutkan” dan menekankan pentingnya menghormati hak-hak dasar warga Palestina.

Amnesty International bahkan lebih keras dalam menyikapi proposal tersebut. Organisasi hak asasi manusia ini menyatakan bahwa rencana Trump “tidak bermoral dan tidak sah,” serta melanggar hak masyarakat untuk menentukan nasib sendiri.

Analisis: Apa Dampaknya?

Rencana Trump untuk mengambil alih Gaza tidak hanya menimbulkan pertanyaan tentang legalitas internasional, tetapi juga tentang kelayakannya. Gaza adalah wilayah dengan populasi lebih dari dua juta orang, dan upaya relokasi massal akan menimbulkan tantangan kemanusiaan yang besar. Selain itu, proposal ini dianggap mengabaikan hak-hak warga Palestina dan prinsip solusi dua negara yang telah lama didukung oleh komunitas internasional.

Di sisi lain, Trump tampaknya berusaha memposisikan AS sebagai pemain utama dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina. Namun, tanpa dukungan internasional yang luas, rencana ini berisiko memperburuk ketegangan di kawasan Timur Tengah.

Pengumuman Trump tentang pengambilalihan Gaza telah memicu gelombang kritik global. Sementara AS mungkin melihat ini sebagai langkah untuk menciptakan stabilitas, banyak negara dan organisasi internasional menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap hak-hak warga Palestina dan prinsip-prinsip hukum internasional. Tanpa konsensus global, rencana ini berpotensi memicu ketegangan baru di kawasan yang sudah rentan konflik.

Advertisement
RELATED ARTICLES

1 COMMENT

Comments are closed.

- Advertisement -

Most Popular

- Advertisement -