Tuesday, June 17, 2025
HomeEkonomiBisnis & KeuanganMengapa Data Kemiskinan Versi BPS dan Bank Dunia Beda? Ini Penjelasan Lengkapnya

Mengapa Data Kemiskinan Versi BPS dan Bank Dunia Beda? Ini Penjelasan Lengkapnya

Jakarta – Sebuah perbedaan mencolok dalam angka penduduk miskin di Indonesia memicu tanda tanya publik. Bank Dunia, dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, mencatat bahwa 60,3 persen warga Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan global, setara dengan 171,8 juta orang. Namun, data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka yang jauh lebih kecil: 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta orang per September 2024.

Perbedaan ini sempat ramai diperbincangkan di media sosial. Sejumlah warganet mempertanyakan keakuratan data resmi pemerintah, sementara sebagian lainnya bingung mengapa selisihnya begitu besar. Untuk menjawab keresahan itu, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti akhirnya angkat bicara dalam konferensi pers di kompleks Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Jumat (2/5/2025).

“Saya ingin meluruskan bahwa perbedaan angka ini bukan kontradiksi, melainkan akibat perbedaan metodologi dan tujuan penghitungan,” kata Amalia dengan tenang, sesekali tersenyum menanggapi pertanyaan awak media. Suasana ruangan tampak serius, namun hangat, saat Amalia menjelaskan detail teknis di balik perbedaan data itu.

Perbedaan Metodologi: Bank Dunia Pakai PPP, BPS Pakai CBN

Menurut Amalia, Bank Dunia menggunakan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP) atau paritas daya beli dalam menentukan garis kemiskinan global. Bank Dunia membagi standar kemiskinan menjadi tiga tingkat:

  • US$ 2,15 PPP per hari untuk kemiskinan ekstrem

  • US$ 3,65 PPP per hari untuk negara berpendapatan menengah bawah

  • US$ 6,85 PPP per hari untuk negara berpendapatan menengah atas

Karena Indonesia dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah atas sejak 2023, maka Bank Dunia memakai standar US$ 6,85 PPP. Berdasarkan perhitungan 2024, angka ini setara dengan Rp5.993,03 per kapita per hari.

“Angka itu bukan angka yang mutlak harus kita gunakan. Bank Dunia hanya memberikan referensi global,” jelas Amalia, mengutip median garis kemiskinan dari 37 negara selevel Indonesia.

Ia juga menegaskan, setiap negara memiliki standar garis kemiskinan sendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks lokal. “Standar hidup di DKI Jakarta tentu berbeda dengan di Papua Selatan. Tidak bisa disamakan,” imbuhnya, mencontohkan perbedaan biaya hidup antarwilayah.

Pendekatan BPS: Berdasarkan Kebutuhan Riil

Di sisi lain, BPS menggunakan metode Cost of Basic Needs (CBN) yang menghitung pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar. Garis kemiskinan nasional 2024 ditetapkan Rp595.242 per kapita per bulan, mencakup kebutuhan 2.100 kilokalori makanan per hari serta kebutuhan non-makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

Amalia menjelaskan, survei dilakukan melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dua kali setahun, dengan cakupan 345.000 rumah tangga pada Maret dan 76.310 rumah tangga pada September. “Dari data itu, kami hitung kebutuhan minimum yang layak untuk hidup sehat dan produktif,” paparnya.

Ia menambahkan, rata-rata garis kemiskinan rumah tangga nasional setara Rp2.803.590 per bulan, namun bervariasi antarwilayah. Di DKI Jakarta misalnya, garis kemiskinan mencapai Rp4.238.886, sementara di Nusa Tenggara Timur lebih rendah, sekitar Rp3.102.215.

“Jadi kemiskinan tidak bisa diterjemahkan semata-mata dengan pendapatan per hari atau gaji 20 ribu itu miskin. Tidak sesederhana itu, karena mengacu kebutuhan nyata di lapangan,” tandas Amalia.

Suasana di Lapangan: Warga Bingung, Ahli Menenangkan

Di lapangan, perbedaan angka ini membuat sebagian warga bingung. “Kok bisa beda jauh ya? Katanya miskin 60 persen, tapi di TV bilang cuma 8 persen. Mana yang benar?” ujar Nurhayati (40), seorang ibu rumah tangga di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat.

Sementara itu, Dedi Santoso, seorang pengamat kebijakan publik, mengatakan wajar jika publik bingung karena angka yang dipublikasikan terlihat sangat berbeda. Namun ia meminta masyarakat tidak buru-buru menyimpulkan.

“Dua angka itu sahih, tapi tujuan dan perspektifnya berbeda. Bank Dunia melihat dari standar global, sementara BPS dari standar lokal,” jelas Dedi. Ia berharap pemerintah lebih aktif mengedukasi publik agar pemahaman masyarakat lebih utuh.

Mengapa Perbedaan Ini Terjadi?

Perbedaan data ini terjadi karena perbedaan definisi “miskin” itu sendiri. Bank Dunia menetapkan batas garis kemiskinan lebih tinggi untuk mengukur kerentanan penduduk terhadap standar global, bukan hanya soal bisa makan hari ini. Sementara BPS fokus menghitung penduduk yang benar-benar tak mampu memenuhi kebutuhan dasar dalam konteks Indonesia.

“Bayangkan kalau standar Bank Dunia dipakai mentah-mentah, semua orang yang pendapatannya di bawah Rp5.993 sehari langsung dikategorikan miskin, padahal di banyak daerah angka itu sudah cukup,” kata Amalia.

Menurut dia, standar global penting untuk membandingkan antarnegara, tetapi tidak selalu relevan untuk mengukur kondisi lokal secara langsung. “Masing-masing punya fungsi. Bank Dunia untuk perbandingan internasional, BPS untuk perumusan kebijakan nasional,” ujarnya.

Kesimpulan: Dua Data, Dua Fungsi, Satu Tujuan

Perbedaan angka kemiskinan versi Bank Dunia dan BPS bukanlah pertentangan, melainkan refleksi dari dua metodologi berbeda. Data Bank Dunia berguna untuk mengukur posisi Indonesia secara global, sementara data BPS menjadi dasar pengambilan kebijakan nasional.

Amalia berharap masyarakat tidak terjebak dalam angka absolut tanpa memahami konteksnya. “Keduanya saling melengkapi, bukan saling meniadakan,” pungkasnya.

Advertisement
RELATED ARTICLES
- Advertisement -

Most Popular

- Advertisement -