Monday, June 16, 2025
HomeInternasionalTimur Tengah & AfrikaGaza dalam Kepungan Kelaparan: Dua Juta Jiwa Terancam di Tengah Kebisuan Dunia

Gaza dalam Kepungan Kelaparan: Dua Juta Jiwa Terancam di Tengah Kebisuan Dunia

Krisis kemanusiaan di Gaza memuncak pada 2025, memaksa dua juta warga bertahan di bawah blokade total, di tengah dunia yang memilih diam.

Suara Ratapan dari Reruntuhan: Gaza Menuju Ambang Kehancuran

Di antara puing-puing rumah yang hancur dan debu yang mengaburkan matahari, rintihan anak-anak kelaparan terdengar menyayat hati. Gaza kini bukan hanya menghadapi serangan udara, tetapi juga ancaman kelaparan mematikan yang perlahan mencabut harapan hidup dua juta warganya.

Setiap sudut kota memperlihatkan adegan memilukan: pasar kosong, ibu-ibu menangis di depan tenda, dan anak-anak mengais remah-remah roti yang tak lagi ada.


Apa yang Sebenarnya Terjadi di Gaza?

Sejak awal tahun 2025, Gaza hidup dalam pengepungan penuh. Israel menutup semua jalur bantuan, memperparah situasi kemanusiaan yang sudah rapuh akibat perang selama 18 bulan terakhir.

Blokade ini memutus suplai makanan, air bersih, dan obat-obatan. Sistem kesehatan runtuh, dan organisasi bantuan internasional pun mengaku kehabisan persediaan.

“Tanpa gencatan senjata dan akses kemanusiaan, lebih banyak nyawa akan hilang,” tegas Cindy McCain, Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia PBB.


Siapa yang Menjadi Korban Utama

Anak-anak, perempuan, dan lansia menjadi kelompok paling rentan. Mereka kini terjebak tanpa makanan, tanpa air bersih, dan tanpa tempat berlindung yang layak.

Salma al-Bitar, seorang ibu tiga anak, mengatakan dengan mata berkaca-kaca, “Kami bukan hanya kelaparan, kami sedang mati perlahan.”

Kelompok relawan dan aktivis lokal menyebutkan bahwa banyak keluarga kini hanya mengandalkan air kotor untuk bertahan hidup.


Bagaimana Situasi Ini Memburuk?

Blokade total dimulai dua bulan lalu, namun kelumpuhan sistem pangan terjadi jauh lebih cepat.

Dalam beberapa minggu saja, pasar kehabisan stok. Dapur umum yang tersisa kini hanya bisa membagikan satu potong roti untuk beberapa keluarga.

“Awalnya kami pikir ini akan berlalu cepat. Tapi setiap hari yang kami lalui, kami kehilangan lebih banyak orang,” kata Yusuf Abu Zuraik, seorang guru sekolah di Gaza.


Titik Krisis Terparah

Wilayah utara Gaza, termasuk kamp pengungsi Jabaliya, menjadi pusat penderitaan.

Tenda-tenda pengungsi tidak mampu melindungi dari panas terik siang dan dingin malam. Banyak anak-anak terpaksa tidur di atas tanah berbatu, tanpa makanan atau air.

Bau menyengat dari mayat-mayat yang belum dikubur memperparah suasana muram yang menyelimuti Gaza.


Dunia Membisu

Banyak warga Gaza merasa bahwa dunia telah menutup mata terhadap penderitaan mereka.

Khaled Safi, jurnalis lokal, menulis dengan nada getir, “Ini bukan hanya kejahatan perang, ini penghinaan terhadap semua nilai kemanusiaan.”

Kebisuan internasional dan ketidakberdayaan dunia Arab dinilai memperparah krisis, membiarkan Gaza terperosok lebih dalam ke dalam jurang kematian.


Bagaimana Harapan Bisa Tumbuh di Tengah Kegelapan?

Organisasi bantuan seperti WFP dan UNICEF sudah menyiapkan pasokan darurat. Namun, tanpa jalur kemanusiaan terbuka, bantuan tersebut tidak pernah mencapai mereka yang membutuhkan.

“Mereka butuh makanan, air, dan perlindungan sekarang, bukan besok,” tegas McCain dalam pernyataannya.

Meski demikian, semangat solidaritas di antara warga Gaza tetap menyala. Mereka saling berbagi remah terakhir yang mereka miliki, menunjukkan kekuatan luar biasa dalam menghadapi tragedi.


Gaza Memanggil Dunia

Gaza saat ini berada di ujung tanduk, menghadapi ancaman kelaparan massal di bawah bayang-bayang blokade tanpa akhir.

Dengan lebih dari dua juta jiwa yang terancam, dunia dihadapkan pada pilihan: membiarkan tragedi ini berlanjut atau bertindak untuk menghentikannya.

Gaza bukan sekadar berita. Gaza adalah panggilan nurani untuk seluruh umat manusia.

Advertisement
RELATED ARTICLES
- Advertisement -

Most Popular

- Advertisement -