Thursday, April 17, 2025
HomeInternasionalEropaTrump, Ukraina Bersalah Karena Memulai Perang Dengan Rusia

Trump, Ukraina Bersalah Karena Memulai Perang Dengan Rusia

Pada hari Selasa lalu, pejabat tinggi Amerika Serikat (AS) dan Rusia menggelar pertemuan maraton selama empat jam di Riyadh, Arab Saudi. Pertemuan ini digelar dengan tujuan membahas upaya mengakhiri konflik di Ukraina timur. Namun, absennya perwakilan Ukraina dalam pembicaraan tersebut menuai kritik dan memicu kontroversi, terutama setelah Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa Kyiv seharusnya bertanggung jawab atas konflik yang terjadi.

Dalam pernyataannya kepada wartawan di Mar-a-Lago, Trump tampak tidak sabar dengan keberatan Ukraina yang merasa dikesampingkan. “Mereka (Ukraina) sudah berada di sana selama tiga tahun. Seharusnya mereka bisa mengakhiri ini dalam tiga tahun. Bahkan, seharusnya konflik ini tidak pernah dimulai,” ujar Trump. Pernyataan ini dianggap banyak pihak sebagai bentuk penyalahan terhadap Ukraina, padahal konflik tersebut dimulai setelah Rusia melancarkan invasi besar-besaran pada 2022.

Trump juga mengklaim bahwa dirinya memiliki “peluang bagus” untuk mengakhiri perang jika diberikan kesempatan. Ia bahkan menyatakan bahwa seorang negosiator yang cakap seharusnya bisa menyelesaikan konflik ini bertahun-tahun lalu tanpa banyak kehilangan wilayah atau nyawa. Namun, komentar-komentarnya ini justru memicu kekhawatiran di kalangan sekutu AS, terutama Eropa, yang melihat upaya Trump untuk mendekati Moskow berpotensi merusak aliansi transatlantik.

Eropa dan Ukraina: Dikesampingkan atau Dilibatkan?

Tidak hanya Ukraina, negara-negara Eropa juga tidak diundang dalam pertemuan di Riyadh. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana kepentingan sekutu AS dipertimbangkan dalam upaya perdamaian ini. Meski demikian, pejabat AS seperti Menteri Luar Negeri Marco Rubio menegaskan bahwa tidak ada niat untuk mengecualikan pihak-pihak terkait. “Tidak ada yang dikesampingkan di sini. Akan ada keterlibatan dan konsultasi dengan Ukraina, mitra Eropa, dan negara-negara lain,” kata Rubio.

Namun, ketidakhadiran Ukraina dalam pertemuan tersebut jelas menimbulkan ketidakpuasan. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy bahkan membatalkan rencana kunjungannya ke Arab Saudi pada hari Rabu, mungkin untuk menghindari kesan bahwa perjalanannya terkait dengan pembicaraan AS-Rusia. Zelenskyy tampaknya tidak ingin terlihat mendukung proses diplomasi yang mengabaikan peran negaranya.

Kritik dari Pakar: Diplomasi yang Tidak Seimbang

Nigel Gould-Davies, peneliti senior untuk Eurasia dan Rusia di Institut Internasional untuk Studi Strategis di London, menyoroti ketimpangan dalam proses negosiasi ini. “Sejak awal, seluruh negosiasi ini tampaknya sangat condong ke arah Rusia. Bahkan, pertanyaannya adalah apakah ini bisa disebut negosiasi atau justru serangkaian kapitulasi Amerika,” ujarnya. Kritik ini mengindikasikan kekhawatiran bahwa upaya perdamaian yang digagas AS mungkin lebih menguntungkan Moskow daripada Kyiv.

Di sisi lain, Rubio menekankan bahwa jika upaya ini berhasil, akan terbuka peluang besar untuk bermitra dengan Rusia dalam isu-isu global yang berdampak positif bagi dunia. Namun, ia tidak merinci isu-isu apa saja yang akan dibahas, meninggalkan ruang untuk spekulasi tentang arah diplomasi AS-Rusia ke depan.

Masa Depan Diplomasi AS-Rusia-Ukraina

Pertemuan di Riyadh ini menandai babak baru dalam upaya mengakhiri konflik Ukraina, tetapi juga memunculkan pertanyaan tentang peran dan kepentingan masing-masing pihak. Sementara AS berusaha menjalin hubungan yang lebih baik dengan Rusia, Ukraina dan sekutu Eropa merasa khawatir bahwa kepentingan mereka mungkin terabaikan.

Ad

RELATED ARTICLES

1 COMMENT

Comments are closed.

Ad

- Advertisment -

Most Popular