Tepi Barat – Konflik antara faksi-faksi perlawanan Palestina dan pasukan Israel terus memanas seiring operasi militer Israel yang semakin intensif di wilayah tersebut. Sejak dimulai pada 21 Januari lalu, operasi yang dijuluki “Tembok Besi” ini telah meluas ke berbagai kamp pengungsi di Tepi Barat, menyebabkan puluhan ribu warga Palestina mengungsi dan menghadapi situasi kemanusiaan yang semakin memprihatinkan.
Bentrokan Sengit di Kamp Pengungsi
Pada Jumat (14/2), faksi-faksi perlawanan Palestina melancarkan serangan terhadap pasukan Israel di sekitar kamp tua Askar, Nablus. Menurut laporan Aljazirah Arabia, pejuang perlawanan menggunakan alat peledak rakitan untuk menargetkan kendaraan militer Israel. Brigade Martir Al-Aqsa juga mengumumkan keterlibatan mereka dalam bentrokan bersenjata di kamp Askar, menggunakan senapan mesin dan alat peledak.
Tak hanya di Nablus, pertempuran juga terjadi di kamp pengungsi Nur Shams dan Tulkarem di utara Tepi Barat. Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, bersama kelompok bersenjata Palestina lainnya, melaporkan penyergapan terhadap pasukan Israel. Bentrokan ini mengakibatkan syahidnya seorang pejuang Palestina, Khaled Mustafa Amer.
Di kamp pengungsi Jenin, pertempuran sengit masih berlangsung. Sumber lokal melaporkan bahwa pasukan Israel terus melakukan serangan udara dan menggunakan peluru tajam, menghambat upaya warga untuk kembali ke rumah mereka.
Pernyataan dari Faksi Perlawanan
Brigade Al-Quds, sayap bersenjata Jihad Islam Palestina, mengklaim telah berhasil menyergap pasukan infanteri Israel yang terdiri dari 10 tentara di lingkungan al-Manshiya, kamp pengungsi Nur Shams. Dalam pernyataan resmi di Telegram, kelompok tersebut menyatakan bahwa mereka melukai sejumlah tentara Israel dan terus terlibat dalam pertempuran sengit.
“Pejuang kami menghujani pasukan pendukung dengan tembakan peluru dan alat peledak besar, mencapai serangan langsung,” bunyi pernyataan tersebut.
Dampak Kemanusiaan yang Parah
Operasi militer Israel telah menyebabkan lebih dari 45.000 warga Palestina mengungsi dari wilayah utara Tepi Barat. Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH) mengecam keras tindakan Israel, menyebut situasi di Tepi Barat sebagai yang terburuk sejak Intifada kedua.
“Apa yang kita saksikan di Tepi Barat adalah situasi terburuk sejak Intifada kedua. Pola serangan dan metode yang digunakan mirip dengan yang terlihat selama kampanye genosida Israel di Gaza,” kata Diana Alzeer, Wakil Presiden FIDH, dari Ramallah.
Alzeer menambahkan bahwa pasukan Israel menggunakan metode brutal, termasuk menghancurkan infrastruktur, menyerbu rumah-rumah warga, dan menghalangi layanan medis. “Pendudukan ilegal dan apartheid kolonial pemukim Israel terhadap rakyat Palestina harus diakhiri,” tegasnya.
Kondisi di Kamp Pengungsi Jenin
Kamp pengungsi Jenin menjadi salah satu wilayah yang paling terdampak. Menurut kelompok hak asasi manusia Palestina, Al Haq, serangan militer Israel telah menghancurkan kehidupan sehari-hari di kamp tersebut. Dalam sebuah postingan di X, Al Haq melaporkan bahwa pasukan Israel mendirikan pos pemeriksaan tambahan dan menembakkan peluru tajam ke arah warga yang mencoba kembali ke rumah mereka.
“Warga Palestina di Jenin menderita penderitaan mental yang serius dan berkepanjangan. Mereka menyaksikan lingkungan yang hancur, jalan-jalan yang diganti namanya dengan tanda-tanda Ibrani, dan pembongkaran setiap hari. Mereka telah kehilangan rumah, mata pencaharian, dan harapan untuk masa depan,” tulis Al Haq.
Operasi Israel yang Terus Berlanjut
Operasi militer Israel di Tepi Barat tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Buldoser Israel terus menghancurkan jalan-jalan dan infrastruktur di kamp pengungsi Jenin, dengan tangki diesel yang memasok bahan bakar setiap pagi. Serangan ini telah melumpuhkan kehidupan ekonomi dan sosial warga Palestina, menciptakan krisis kemanusiaan yang semakin dalam.
Ketegangan di Tepi Barat terus memanas, dengan faksi-faksi perlawanan Palestina berupaya menghadapi operasi militer Israel yang semakin brutal. Sementara itu, warga Palestina di kamp-kamp pengungsi menghadapi penderitaan yang tak terkira, kehilangan rumah, mata pencaharian, dan harapan untuk masa depan.