Uni Eropa Mengecam Langkah AS
Den Haag – Pernyataan keras datang dari Uni Eropa setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif yang menjatuhkan sanksi terhadap Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Langkah ini menuai reaksi tajam dari berbagai pihak, termasuk Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, yang menegaskan bahwa Eropa akan selalu membela keadilan dan supremasi hukum internasional.
Dalam sebuah unggahan di platform X, von der Leyen menulis, “ICC menjamin akuntabilitas atas kejahatan internasional dan memberikan suara kepada para korban di seluruh dunia. Mereka harus dapat dengan bebas mengejar perjuangan melawan impunitas global.” Pernyataan ini mempertegas sikap Uni Eropa dalam menentang langkah AS yang dinilai menghambat independensi pengadilan internasional.
Ancaman terhadap Independensi Pengadilan Internasional
Senada dengan von der Leyen, Antonio Costa, Presiden Dewan Eropa, menilai sanksi tersebut sebagai ancaman terhadap independensi ICC dan melemahkan sistem peradilan pidana global. Keputusan Trump ini juga disebut-sebut sebagai bentuk perlindungan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang menghadapi surat perintah penangkapan dari ICC terkait dugaan kejahatan perang di Gaza.
Langkah AS ini bertepatan dengan kunjungan Netanyahu ke Washington. Dalam konferensi pers bersama, Trump mengisyaratkan bahwa AS mungkin akan “mengambil alih” Jalur Gaza, yang hingga kini masih porak poranda akibat serangan militer Israel. Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 47.400 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, telah menjadi korban jiwa dalam konflik yang berkepanjangan.
ICC Berupaya Melindungi Stafnya
Keputusan Trump bukan kali pertama Washington berupaya melemahkan ICC. Pada 2020, di masa kepemimpinan pertamanya, Trump menjatuhkan sanksi terhadap Jaksa ICC saat itu, Fatou Bensouda, akibat penyelidikan atas dugaan kejahatan perang pasukan AS di Afghanistan. Kini, AS kembali mengambil langkah serupa di tengah upaya ICC menegakkan keadilan terhadap kasus-kasus yang melibatkan pemimpin negara-negara besar.
Sementara itu, ICC telah mengambil langkah antisipatif untuk melindungi stafnya dari kemungkinan dampak sanksi AS, termasuk dengan membayarkan gaji mereka lebih awal guna memastikan operasional pengadilan tetap berjalan. Hakim Tomoko Akane, Presiden ICC, memperingatkan bahwa sanksi ini dapat menghambat operasional pengadilan dan bahkan mengancam keberadaannya.
Sikap Rusia terhadap ICC
Di sisi lain, Rusia juga menunjukkan sikap bermusuhan terhadap ICC setelah pengadilan tersebut mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Presiden Vladimir Putin pada 2023 atas tuduhan deportasi ilegal anak-anak Ukraina. Sebagai balasan, Moskow melarang masuk Kepala Jaksa ICC, Karim Khan, dan memasukkannya ke dalam daftar buronan bersama dua hakim pengadilan.
Masa Depan Supremasi Hukum Internasional
Situasi ini menegaskan bahwa peran ICC dalam menegakkan keadilan internasional terus menghadapi tantangan besar. Sementara Uni Eropa dan komunitas internasional menegaskan dukungannya terhadap ICC, langkah AS dan Rusia menunjukkan betapa sulitnya menegakkan hukum di panggung global, terutama ketika pemimpin negara adidaya menolak tunduk pada peradilan internasional. Pertanyaannya kini, sejauh mana dunia siap membela supremasi hukum internasional di tengah tekanan politik yang semakin kompleks?