Pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang digelar di Hotel Fairmont, Jakarta, pada Jumat-Sabtu, 14-15 Maret 2025, menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Saiful Mujani, pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), yang mempertanyakan transparansi dan substansi pembahasan tersebut.
“Kenapa DPR dan Pemerintah membahas RUU TNI secara diam-diam di hotel mewah? Kenapa tidak mengundang akademisi, ormas, media, dan NGO yang terkait dengan isu TNI?” tulis Saiful Mujani dalam unggahannya di platform media sosial X, Sabtu (15/3/2025). Saiful mengizinkan Tempo untuk mengutip pernyataannya tersebut.
Substansi yang Menyimpang dari Amanat Reformasi
Saiful Mujani menilai, pembahasan revisi UU TNI ini justru bertolak belakang dengan semangat reformasi. Menurutnya, reformasi seharusnya mengarahkan TNI untuk lebih fokus pada profesionalisme di bidang pertahanan, bukan memperluas peran militer di wilayah sipil. “Ini melanggar amanat reformasi. Ini adalah kemunduran dalam bernegara,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa reformasi seharusnya membatasi, bahkan menghilangkan, peran TNI di ranah sipil agar pertahanan negara bisa dikelola secara lebih profesional. “Tanpa partisipasi publik, pembahasan ini sudah menyimpang secara prosedur. Kami tidak akan tinggal diam dan siap mempersoalkannya di Mahkamah Konstitusi, seperti yang pernah dilakukan pada kasus Undang-Undang Cipta Kerja,” ujar Saiful.
Baca Juga: Polemik DPR Gelar Rapat RUU TNI di Hotel Mewah
Kecenderungan Menambah Jabatan Sipil untuk TNI
Saiful juga menyoroti kecenderungan revisi UU TNI untuk menambah jabatan sipil yang bisa diisi oleh perwira TNI. Menurutnya, hal ini lebih ditujukan untuk mengakomodasi perwira yang menganggur sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo. “Ini bukan soal kepentingan bangsa, tapi lebih pada menyediakan ‘desk job’ untuk perwira TNI yang nganggur,” kritiknya.
Respons Ketua Komisi I DPR: “Ini Sudah Biasa”
Menanggapi kritik tersebut, Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, membela keputusan menggelar rapat di hotel mewah. “Ini sudah menjadi kebiasaan. Coba kamu cek, pembahasan UU Kejaksaan dulu di Hotel Sheraton, UU Perlindungan Data Pribadi di InterContinental. Kenapa tidak dikritik saat itu?” ujar Utut saat ditemui di sela-sela rapat di Hotel Fairmont.
Utut, yang merupakan politikus PDI Perjuangan, enggan menanggapi lebih jauh soal isu efisiensi anggaran. “Itu kan pendapatmu,” ujarnya singkat.
Kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil
Koalisi Masyarakat Sipil juga tidak ketinggalan menyuarakan kekecewaannya. Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya, menilai langkah DPR dan pemerintah menggelar rapat di hotel mewah menunjukkan ketidakpekaan terhadap kondisi ekonomi masyarakat. “Retorika pemotongan anggaran hanyalah gimik belaka. Ini bukti bahwa mereka tidak peka dengan kesulitan ekonomi yang dialami rakyat,” tegas Dimas.
Pembahasan Tertutup dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
Rapat di Hotel Fairmont tersebut digelar secara tertutup dan fokus pada pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI. Beberapa poin krusial yang dibahas antara lain kedudukan TNI, perpanjangan batas usia pensiun prajurit, serta penambahan jabatan sipil yang bisa diisi oleh perwira aktif TNI.