Setelah serangkaian penyelidikan mendalam, militer dan badan intelijen Israel, Shin Bet, mengungkap sejumlah kelemahan strategis yang menjadi pemicu serangan 7 Oktober 2023 oleh kelompok perlawanan Palestina. Serangan yang dijuluki “Banjir Al-Aqsa” ini menargetkan permukiman dan pangkalan militer Israel di sekitar Jalur Gaza, mengekspos celah besar dalam sistem pertahanan dan intelijen negara tersebut.
Laporan Shin Bet menyoroti kegagalan di berbagai tingkat, mulai dari kesalahan analisis intelijen hingga ketergantungan berlebihan pada teknologi pertahanan seperti tembok perbatasan. Faktor-faktor lain yang turut berkontribusi termasuk ketegangan di Temple Mount, perlakuan terhadap tahanan Palestina, serta kurangnya operasi intelijen manusia di dalam Jalur Gaza.
Laporan ini memicu perdebatan sengit di kalangan politik Israel. Kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak sebagian temuan, menyatakan bahwa laporan tersebut tidak menggambarkan kegagalan secara utuh. Sementara itu, pihak oposisi menuding Netanyahu sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kelemahan tersebut.
Tuntutan Perubahan Radikal dalam Doktrin Intelijen
Menurut Radio Angkatan Darat Israel, penyelidikan ini tidak hanya mendiagnosis kegagalan, tetapi juga menekankan kebutuhan mendesak untuk perubahan radikal dalam doktrin intelijen. Salah satu rekomendasi utama adalah meningkatkan keterlibatan aparat intelijen dengan realitas Arab, termasuk mempromosikan pendidikan bahasa Arab dan pemahaman mendalam tentang budaya serta agama Islam.
Unit-unit intelijen, termasuk Unit 8200—unit pemecah kode terbesar di IDF—akan menjalani pelatihan intensif untuk memperkuat kemampuan analisis dan penilaian intelijen. Langkah ini diambil setelah penyelidikan mengungkap kelemahan signifikan dalam intelijen manusia, termasuk kurangnya agen dan mata-mata di dalam Jalur Gaza sebelum serangan.
Menguatkan Intelijen Manusia dan Pertukaran Informasi
Penyelidikan juga mengungkap bahwa Israel terlalu bergantung pada intelijen teknis, seperti penyadapan dan pengawasan dunia maya, sementara mengabaikan peran intelijen manusia. Untuk mengatasi hal ini, Israel berencana memperkuat penggunaan agen dan mata-mata, serta meningkatkan mekanisme pertukaran informasi antar departemen di AMAN (Direktorat Intelijen Militer Israel).
Brigadir Jenderal pensiunan Ayman al-Rousan, pakar militer, menyatakan bahwa kurangnya pemahaman tentang realitas Arab dan Palestina menjadi faktor kunci kegagalan intelijen Israel. “Mereka perlu memahami budaya, bahasa, dan motivasi di balik serangan ini,” ujarnya.
Analis militer Nidal Abu Zeid menambahkan, “Israel terlalu mengandalkan teknologi, tetapi intelijen manusia tetap menjadi kunci untuk memprediksi ancaman yang kompleks.”
Belajar dari Konflik dengan Houthi
Pada Desember 2024, surat kabar Ibrani Maariv melaporkan bahwa divisi intelijen Israel menyadari pentingnya memahami dialek, budaya, dan mentalitas Yaman setelah Houthi terlibat langsung dalam konflik dengan Israel. Hal ini menunjukkan bahwa intelijen tidak hanya membutuhkan data teknis, tetapi juga pemahaman mendalam tentang konteks sosial dan budaya.