Wednesday, April 9, 2025
HomeNewsNasionalMusik dan Politik: Ketika Seni Menjadi Korban Represi Rezim di Indonesia

Musik dan Politik: Ketika Seni Menjadi Korban Represi Rezim di Indonesia

Views: 1

Jakarta – Hubungan antara musik dan kekuasaan di Indonesia seringkali diwarnai dengan ketegangan dan represi. Sejarah mencatat, berbagai rezim yang berkuasa kerap menggunakan seni, termasuk musik, sebagai alat kontrol sosial dan politik. Dari era Orde Lama hingga Orde Baru, musisi dan karya mereka tak jarang menjadi korban intimidasi dan pelarangan.

Era Sukarno: The Beatles dan Koes Plus yang Dihujat

Pada akhir 1950-an, Presiden Sukarno mengganti sistem demokrasi liberal dengan demokrasi terpimpin. Saat itu, Indonesia juga tengah berkonflik dengan Belanda terkait masalah Irian Barat (kini Papua). Gerakan anti-Barat pun menguat, didukung oleh kelompok-kelompok kiri.

Di tengah situasi politik yang memanas, dunia musik internasional diramaikan oleh kemunculan The Beatles. Grup band asal Inggris ini tidak hanya membawa perubahan dalam musik, tetapi juga gaya hidup, mulai dari rambut gondrong hingga cara berpakaian. Namun, Sukarno justru mengecam The Beatles, menyebut musik mereka sebagai “ngak-ngik-ngok” dan melarangnya beredar di Indonesia.

Meski dilarang, pengaruh The Beatles tak terbendung. Di Indonesia, Koes Bersaudara (yang kemudian menjadi Koes Plus) muncul sebagai representasi lokal The Beatles. Popularitas mereka melambung, bahkan melebihi nama-nama menteri di kabinet saat itu. Namun, keberhasilan mereka justru menuai masalah.

Aparat negara mulai beraksi dengan membawa gunting ke jalan-jalan, memotong rambut gondrong dan celana jeans yang dianggap terlalu ketat. Koes Plus pun tak luput dari tekanan. Mereka dituding sebagai penyebar budaya Barat yang merusak moral bangsa. Pada 1965, Koes Plus bahkan harus mendekam di penjara Glodok selama tiga bulan dengan tuduhan subversif.

Era Orde Baru: Metal Diharamkan, Musik Jadi Alat Politik

Lompat ke era 1990-an, musik metal menjadi fenomena global yang merambah Indonesia. Namun, konser Metallica di Stadion Lebak Bulus, Jakarta, pada April 1993 berakhir dengan kerusuhan besar. Api berkobar, barikade tentara bersiaga, dan situasi pun berubah seperti medan perang.

Presiden Soeharto, yang saat itu memegang tampuk kekuasaan Orde Baru, merespons keras insiden tersebut. Melalui Menko Polkam Soesilo Soedarman, pemerintah mengeluarkan maklumat yang melarang segala bentuk pertunjukan musik metal. Tayangan televisi yang menampilkan musik metal juga ikut dilarang.

Pelarangan ini tidak hanya sekadar masalah keamanan, tetapi juga bermuatan politis. Pada Pemilu 1992, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menggunakan simbol tiga jari (jempol, telunjuk, dan kelingking) yang mirip dengan salam khas metal. Simbol ini dianggap sebagai bentuk pemberontakan terhadap hegemoni Golkar, partai penguasa saat itu.

Meski Golkar tetap memenangkan pemilu, gelombang perlawanan terhadap Orde Baru terus menguat. Banyak anak muda, termasuk penggemar musik metal, yang terinspirasi oleh semangat perlawanan PDI. Mereka turut serta dalam gerakan reformasi 1998 yang akhirnya menumbangkan rezim Soeharto.

Refleksi: Seni dan Kebebasan Berekspresi

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa musik dan seni kerap menjadi korban dalam pusaran politik. Dari Sukarno hingga Soeharto, rezim yang berkuasa menggunakan represi sebagai alat untuk mengontrol ekspresi kebudayaan. Namun, tekanan tersebut justru memicu perlawanan dari masyarakat, terutama generasi muda.

Musik, dengan segala daya tariknya, telah menjadi medium untuk menyuarakan kebebasan dan perlawanan. Koes Plus di era Orde Lama dan komunitas metal di era Orde Baru adalah bukti bahwa seni tidak pernah bisa sepenuhnya dibungkam.

Kini, di era yang lebih demokratis, penting untuk terus menjaga kebebasan berekspresi dan menghargai keragaman budaya. Sebab, sejarah telah mengajarkan bahwa seni bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga cerminan dari jiwa zaman.

Ad

RELATED ARTICLES

Ad

- Advertisment -

Most Popular