Suriah Pasca-Rezim Assad: Para ahli menyerukan pemulihan situs warisan Suriah
Setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024, perhatian dunia beralih ke situs-situs warisan budaya Suriah yang hancur akibat perang selama hampir 14 tahun. Kota kuno Palmyra, kastil abad pertengahan Crac des Chevaliers, dan reruntuhan Kota-Kota Mati menjadi fokus utama upaya pemulihan. Para ahli dan pegiat konservasi berharap, dengan memulihkan harta karun sejarah ini, Suriah dapat menghidupkan kembali industri pariwisata yang mampu memberikan dorongan ekonomi bagi negara yang porak-poranda ini.
Palmyra: “Pengantin Gurun” yang Terluka
Palmyra, salah satu dari enam situs Warisan Dunia UNESCO di Suriah, pernah menjadi pusat perdagangan utama di Jalur Sutra kuno. Kini, reruntuhan kota berusia 2.000 tahun ini menyimpan bekas luka perang yang dalam. Tiang-tiang yang hancur, kuil-kuil yang rusak, dan museum yang dijarah menjadi saksi bisu kehancuran yang terjadi selama konflik berkepanjangan.
Sebelum perang, Palmyra menarik sekitar 150.000 pengunjung setiap bulannya. Namun, setelah ISIS merebut kota ini pada 2015, mereka menghancurkan monumen ikonik seperti Kuil Bel, Kuil Baalshamin, dan Gapura Kemenangan. Khaled al-Asaad, seorang arkeolog terkemuka yang menghabiskan hidupnya untuk melestarikan Palmyra, menjadi korban kekejaman ISIS setelah dipenggal karena menolak mengungkap lokasi penyimpanan artefak berharga.
Ayman Nabu, seorang peneliti dan pakar reruntuhan kuno, termasuk di antara orang pertama yang mengunjungi Palmyra setelah rezim Assad jatuh. “Kami melihat penggalian besar-besaran di dalam makam. Museum Palmyra dalam kondisi menyedihkan, dengan dokumen dan artefak yang hilang,” kenang Nabu. Ia juga mencatat penjarahan besar-besaran selama pendudukan ISIS, termasuk pencurian patung-patung pemakaman yang kemudian diselundupkan ke luar negeri.
Meski demikian, Nabu optimis. “Suriah memiliki harta karun berupa reruntuhan. Palmyra bisa kembali menjadi magnet wisata global,” ujarnya. Namun, upaya pemulihan membutuhkan perencanaan strategis dan dukungan internasional.
Crac des Chevaliers: Kastil Abad Pertengahan yang Terbengkalai
Sekitar 183 kilometer dari Palmyra, Crac des Chevaliers, kastil abad pertengahan yang dibangun oleh bangsa Romawi dan diperluas oleh Tentara Salib, juga menanggung bekas perang. Kastil ini mengalami kerusakan parah akibat serangan udara pemerintah Suriah pada 2014, yang menghancurkan halaman tengah dan tiang-tiang dekoratifnya.
Hazem Hanna, kepala departemen barang antik di Crac des Chevaliers, menjelaskan bahwa meskipun beberapa bagian kastil telah dipugar, sebagian besar masih dalam reruntuhan. “Saya berharap, ketika situasi memungkinkan, wisatawan akan kembali dan menyaksikan kebangkitan pariwisata di sini,” katanya.

Kota-Kota Mati: Reruntuhan Bizantium yang Menjadi Tempat Tinggal Pengungsi
Di barat laut Suriah, lebih dari 700 pemukiman Bizantium yang ditinggalkan, dikenal sebagai Kota-Kota Mati, menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu. Reruntuhan ini menampilkan sisa-sisa rumah batu, basilika, dan jalan-jalan bertiang yang dihiasi ukiran rumit. Meskipun banyak bangunan yang runtuh sebagian, keindahan arsitekturnya masih terlihat jelas.
Namun, konflik berkepanjangan telah mengubah beberapa Kota Mati menjadi tempat tinggal bagi pengungsi. Moustafa Al-Kaddour, seorang penduduk setempat yang kembali setelah delapan tahun, mengenang masa kecilnya di antara reruntuhan ini. “Perasaan saya tak terlukiskan,” katanya. “Ini adalah tempat saya bersekolah dulu.”
Sayangnya, penjarahan dan penggalian ilegal telah merusak banyak situs. Puluhan ribu artefak dicuri dan diselundupkan ke pasar gelap. Ayman Nabu menekankan pentingnya dokumentasi dan upaya pemulihan. “Kami bekerja sama dengan Direktorat Purbakala dan Museum untuk menyusun berkas kasus distribusi internasional, dengan harapan dapat menemukan dan memulihkan artefak yang hilang,” jelasnya.
Dukungan UNESCO dan Tantangan ke Depan
Sejak 2015, UNESCO telah mendukung upaya pelestarian warisan budaya Suriah melalui analisis dan dokumentasi satelit. Namun, kehadiran fisik lembaga ini di lapangan masih terbatas. Matthieu Lamarre, perwakilan UNESCO, mengakui bahwa pekerjaan restorasi belum dapat dilakukan secara langsung. “Kami memberikan laporan dan rekomendasi kepada para ahli lokal, tetapi tantangan keamanan dan politik masih menjadi kendala,” ujarnya.
Pemerintahan sementara Suriah, yang dipimpin oleh kelompok pemberontak Hayat Tahrir al-Sham, memutuskan untuk menunda rencana pemulihan hingga situasi politik stabil. Namun, para ahli seperti Nabu dan Hanna sepakat bahwa pemulihan situs warisan Suriah adalah proyek jangka panjang yang membutuhkan keahlian teknis, pendanaan, dan koordinasi internasional.
Harapan untuk Masa Depan
Meskipun tantangan yang dihadapi besar, optimisme tetap ada. Para ahli yakin bahwa signifikansi historis dan budaya situs-situs ini akan menarik kembali wisatawan internasional. “Suriah memiliki warisan budaya yang kaya. Jika kita bisa melestarikannya, ini akan menjadi modal besar untuk membangun kembali ekonomi negara,” kata Nabu.
Dengan upaya bersama dari komunitas internasional, pemerintah sementara, dan para ahli lokal, harapan untuk melihat Palmyra, Crac des Chevaliers, dan Kota-Kota Mati kembali bersinar bukanlah mimpi belaka. Kebangkitan pariwisata Suriah mungkin masih membutuhkan waktu, tetapi langkah pertama menuju pemulihan telah dimulai.
note: telah dilakukan penyuntingan sesuai konteks tanpa mengurangi esensi yang disampaikan.