Monday, April 7, 2025
HomeInternasionalTimur Tengah & AfrikaYoav Gallant Akui Perintah "Arahan Hannibal" pada 7 Oktober

Yoav Gallant Akui Perintah “Arahan Hannibal” pada 7 Oktober

Views: 0

Tel Aviv, Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Channel 12 Israel, mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, secara terbuka mengakui bahwa dirinya telah memerintahkan penerapan Arahan Hannibal selama serangan Hamas pada 7 Oktober. Arahan kontroversial ini memungkinkan penggunaan kekuatan penuh, termasuk tindakan yang dapat menyebabkan kematian tentara Israel yang ditawan, demi mencegah mereka dibawa ke wilayah musuh.

“Saya pikir secara taktis di beberapa tempat [Arahan Hannibal] dapat diterapkan, di tempat lain tidak, dan itu menjadi masalah,” ujar Gallant dalam wawancara pertamanya sejak diberhentikan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada November lalu.

Konteks dan Dampak Arahan Hannibal

Selama serangan yang diklaim Israel menewaskan sekitar 1.100 warga sipil dan tentara Israel, pasukan pertahanan Israel (IDF) merespons dengan mengerahkan helikopter Apache, pesawat nirawak, dan tank di dalam wilayahnya sendiri. Serangan balasan ini dilaporkan tidak hanya menargetkan pejuang Hamas, tetapi juga menewaskan warga sipil dan tentara Israel yang tengah ditawan.

Sebuah investigasi oleh surat kabar Haaretz mengungkap bahwa Arahan Hannibal diterapkan di tiga fasilitas militer pada hari itu. Namun, perintah yang diberikan tampaknya tidak membedakan antara tentara dan warga sipil yang ditawan, menyebabkan korban dari pihak Israel sendiri. Bahkan, laporan yang didukung oleh PBB menyebutkan bahwa lebih dari selusin tentara dan warga sipil Israel tewas akibat serangan pasukan mereka sendiri.

Gagalnya Upaya Negosiasi dan Penyelamatan Sandera

Dalam wawancara tersebut, Gallant juga menuding Perdana Menteri Netanyahu dan kabinetnya telah menunda kesepakatan gencatan senjata yang sebelumnya dapat menyelamatkan lebih banyak sandera. Ia mengungkapkan bahwa kesepakatan yang saat ini sedang dinegosiasikan hampir sama dengan usulan yang sudah disetujui Hamas pada April tahun lalu.

“Saya pikir pemerintah Israel tidak melakukan semua yang dapat dilakukannya untuk memulangkan para sandera,” kata Gallant. Ia menambahkan bahwa jika kesepakatan dicapai lebih awal, lebih banyak sandera dapat dibebaskan dengan konsekuensi yang lebih ringan bagi Israel.

Selama operasi militer di Gaza, banyak dari 251 tentara dan warga sipil Israel yang ditawan akhirnya tewas akibat serangan udara dan tembakan dari pasukan Israel sendiri. Peristiwa ini menambah ketegangan di pemerintahan Israel, yang saat ini tengah menghadapi kritik keras dari masyarakat serta tekanan internasional.

Implikasi Politik dan Reaksi Publik

Pernyataan Gallant muncul di tengah krisis kepercayaan terhadap kepemimpinan Netanyahu, terutama setelah Kepala Staf Militer Israel, Herzi Halevi, mengundurkan diri pada Januari lalu dengan alasan “kegagalan mengerikan” dalam keamanan dan intelijen terkait serangan Hamas.

Sementara itu, konflik yang masih berlangsung di Gaza telah menyebabkan korban jiwa yang terus meningkat. Menurut laporan terbaru, sedikitnya 47.500 warga Palestina telah tewas dalam operasi militer Israel selama 15 bulan terakhir, dengan beberapa estimasi menyebut angka korban bisa melebihi 200.000 orang.

Dengan pengakuan terbaru dari mantan menteri pertahanan ini, perhatian publik kini tertuju pada tanggung jawab pemerintah Israel dalam menangani krisis keamanan serta kebijakan militernya di masa depan. Pertanyaan besar pun muncul: akankah ada pertanggungjawaban atas keputusan yang diambil selama hari paling berdarah dalam sejarah Israel baru-baru ini?

Ad

RELATED ARTICLES

Ad

- Advertisment -

Most Popular