Amman, Yordania – Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memuncak setelah pernyataan kontroversial dari Presiden AS, Donald Trump, yang menyerukan relokasi warga Palestina dari Jalur Gaza ke negara-negara tetangga, termasuk Yordania dan Mesir. Langkah ini memicu respons keras dari pemerintah Yordania, yang menyatakan siap menutup perbatasannya dan bahkan bertindak lebih jauh jika Israel memaksa para pengungsi Palestina melintas ke wilayahnya.
Menurut sumber terpercaya di Amman, pemerintah Yordania telah menegaskan sikap tegas bahwa pemindahan paksa warga Palestina ke negaranya adalah sebuah garis merah. Jika Israel mencoba membuka perbatasan secara paksa, hal ini akan dianggap sebagai casus belli, atau pemicu perang. Meski Yordania menyadari perbedaan kekuatan militer dengan Israel, para pejabat menegaskan bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain selain mempertahankan kedaulatan dan stabilitas nasionalnya.
Yordania dan Stabilitas Regional
Sebagai negara dengan populasi lebih dari 12 juta jiwa dan sumber daya alam yang terbatas, terutama dalam hal air, Yordania menghadapi tantangan besar dalam menerima gelombang pengungsi baru. Dengan lebih dari dua juta warga Yordania yang sudah terdaftar sebagai pengungsi Palestina, masuknya ratusan ribu tambahan dapat mengganggu keseimbangan sosial dan ekonomi negara tersebut.
Sejarah menunjukkan bahwa perpindahan besar-besaran warga Palestina ke Yordania telah memicu ketegangan internal di masa lalu, seperti yang terjadi dalam peristiwa September Hitam pada tahun 1970. Pada saat itu, konflik antara faksi-faksi Palestina dan pemerintah Yordania menyebabkan kekacauan yang hampir mengguncang stabilitas dinasti Hashemite.
Reaksi Internasional dan Langkah Israel
Israel sendiri telah membentuk divisi militer timur baru untuk mengamankan perbatasannya dengan Yordania, menunjukkan bahwa mereka juga memperkirakan kemungkinan eskalasi konflik. Sementara itu, Trump terus mendorong gagasan pemindahan warga Palestina ke negara-negara tetangga, menyebut kondisi di Gaza sebagai “tidak layak huni” dan mendesak Mesir serta Yordania untuk menerima pengungsi.
Pernyataan ini mendapat kecaman dari berbagai negara Arab dan komunitas internasional. Dalam pertemuan yang digelar di Kairo, diplomat dari Yordania, Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar menegaskan penolakan terhadap setiap upaya pemindahan paksa warga Palestina. Mereka menekankan bahwa hak-hak Palestina harus dihormati dan solusi yang adil harus mengacu pada prinsip two-state solution atau solusi dua negara.
Masa Depan yang Tidak Pasti
Dengan situasi yang semakin kompleks, banyak pihak khawatir bahwa ketegangan ini dapat berkembang menjadi konflik berskala lebih luas. Yordania telah memperketat keamanan di perbatasannya, sementara Israel tetap teguh dengan kebijakan militernya di Gaza dan Tepi Barat.
Meski diplomasi terus dilakukan, ancaman konflik tetap nyata. Jika Israel benar-benar mendorong pemindahan paksa warga Palestina ke Yordania, tidak menutup kemungkinan bahwa kawasan Timur Tengah akan kembali dilanda ketegangan yang dapat berdampak pada stabilitas global.
Baca Juga